Jangankaget dulu dengan judul yang menohok diatas, penulis bukan mau mencela
perkoperasian Indonesia, tidak sedang mendikte para pejabat serta aktivis
koperasi, apalagi menyakiti hati para penggiat koperasi di Indonesia. Karena
mereka semua sudah begitu tersakiti dengan keadaan koperasi yang tak semanis
seperti yang tertulis dalam undang-undang dasar 1945 tentang perkoperasian,
berikut dengan prinsip dan segala hal yang sebenarnya sangat pas, pantas dan
bernas sebagai soko guru ekonomi Indonesia seperti kata Bung Hatta dalam isi
pidatonya.
Fenomena
rebranding banyak dijumpai dalam
beberapa tahun terakhir, dimana perubahan nama acap kali diyakini sebagai
prasyarat utama transformasi citra organisasi. Pemicu perubahan nama dapat
bermacam-macam, diantaranya karena perkembangan teknologi (nama lama dianggap
sudah “usang” dan tidak lagi relevan), cakupan bisnis saat ini terlalu sempit,
restrukturisasi organisasi, merger dan de-merger serta organisasi dan
aktivitasnya.
Secara
teoritis ada tiga kriteria pokok yang wajib dipenuhi dalam setiap upaya rebranding. Pertama, rebranding tidak dapat digunakan sebagai
sekadar “kosmetik” untuk menutupi krisis reputasi, cacat produk/jasa, skandal,
dan sejenisnya, tanpa dibarengi perubahan fundamental pada aspek kunci yang
melandasi perlunya perubahan merek. Kedua, nama baru yang dipilih harus
diseleksi secara ketat lewat riset dan analisis intensif yang mencakup pula
kajian mendalam terhadap global trademark
dan kesedian URL (Uniform Resource
Locators). Ketiga, nama baru tersebut haruslah inoffensive, singkat, gampang diingat, dan mudah diucapkan disemua
Negara tempat perusahaan bersangkutan beroperasi.
Terjadinya
rebranding menyangkut tiga indikator;
mengubah nama dan desain visual (logo, warna dan identitas visual lain) serta
mereposisi. Rebranding sangat penting
untuk memperjelas dan mempertajam positioning
brand bersangkutan. Penggunaan istilah rebranding
terkadang membingungkan, pada kenyataannya, semua bagian dari proses rebranding tidak terdapat satu saja yang
memberikan dasar definisi teoritis. Namun yang pasti bahwa praktik pemasaran
ini terdiri dalam menghilangkan nama salah satu brand untuk produk dan menggantinya dengan yang lain.
Daly
dan Moloney (2004) serta Stuart dan Muzellec (2004) telah mengusulkan tiga
format rebranding; estetika, reposisi
dan renaming. Strategi rebranding, baik dengan perubahan kecil
dalam slogan/logo atau perubahan total nama brand,
adalah cara terkuat untuk menandakan bahwa sesuatu telah berubah di perusahaan.
Brand (ekspresi fisik) terdiri dari
elemen berwujud dan tidak berwujud (nilai-nilai, gambar dan perasaan). Rebranding dapat terdiri dari mengubah
beberapa atau semua elemen-elemen.
Bagian
pertama dari deskripsi mengacu pada perubahan estetika pemasaran yang
memunculkan pertanyaan apakah semua elemen harus diubah, atau hanya beberapa
saja dari brand, untuk mendapat label
“rebranding”. Memang ada kelanjutan
di rebranding dari modifikasi evolusi
logo dan slogan untuk penciptaan nama baru yang revolusioner. Karena perubahan
estetika pemasaran bisa sangat halus dan sulit untuk ditangkap, variabel
perubahan nama digunakan sebagai indikasi rebranding.
Memperbarui identitas visual merupakan salah satu metode yang paling sering
untuk merevitalisasi sebuah brand,
ditunjang dengan fleksibilitas dan kecepatan eksekusi. Henderson dan Cote
(1998) menyatakan, sebagian besar perusahaan secara berkala memperbarui logo brand untuk mempertahankan kesegaran dan
terlihat modern.
Memang,
logo adalah salah satu instrumen utama untuk berkomunikasi dengan medium
visual, mendapatkan perhatian, meningkatkan pengakuan dan diferensisasi brand serta sarana mendapatkan respons
emosional. Tidak seperti nama pembentuk brand,
perusahaan memiliki kemungkinan untuk beradaptasi atau memperbarui logo brand dari waktu ke waktu. Mengubah nama
berarti juga mengubah salah satu bagian dari bauran pemasaran. Sebaliknya,
memperbarui logo lebih mudah, terutama melalui perubahan estetika. Selain
manfaat fleksibilitas, logo adalah sarana transmisi mempengaruhi produk atau
perusahaan. Namun, manajer brand
harus berhati-hati ketika memodifikasi logo. Meskipun banyak penelitian
berpendapat bahwa logo terbaru mungkin akan memiliki dampak positif pada
konsumen, namun sedikit yang menjelaskan tentang bagaimana beradaptasi atau
memodifikasi logo.
Namun,
manajer tidak takut untuk berinvestasi uang dalam jumlah besar ketika
meremajakan identitas visual dari sebuah brand,
manajer pemasaran harus menyadari pentingnya memodifikasi logo termasuk
perubahan warna, bentuk dan jenis huruf. Karena konsumen mengasosiasikan warna,
bentuk dan bahkan tipografi dengan arti yang berbeda, konsumen membuat
penilaian yang kuat tentang warna sesuai untuk gambar perusahaan yang berbeda.
Henderson dan Cote (1998) menunjukkan bahwa analisis persepsi konsumen melalui
tipografi yang berbeda menjadi sangat berguna karena banyak logo terdiri dari
tidak hanya gambar dan karakter, tetapi juga kata-kata.
Hasil
perubahan logo ada yang tidak menunjukkan efek signifikan pada sikap brand atau loyalitas brand. Dengan kata lain, tidak adanya
kesamaan persepsi tidak selalu berdampak negatif pada sikap brand. Pentingnya kesamaan persepsi
antara logo versi lama dan yang baru yang mungkin lupa dibahas. Dampak
modernisasi brand terhadap loyalitas
sebuah brand merupakan keunggulan
kompetitif yang tak terbantahkan, karena konsumen setia kurang sensitif
terhadap kenaikan harga, berkurangnya layanan dan juga iklan yang berkurang.
Peusahaan dapat mengenakan tarif premium untuk pelanggan setia dan mendapatkan
keuntungan dari efisiensi iklan yang lebih baik, sehingga sebuah logo dapat
membuat perbedaan antara brand baik terasa dekat dan juga terasa selalu baru.
Rebranding
bertujuan untuk membentuk citra (image)
dan atau merefleksikan perubahan identitas. Kata rebranding itu sendiri dapat diartikan secara etimologis, yang
merupakan kombinasi kata yaitu re dan
brand. Re berarti kembali sedangkan brand
berarti merek, jadi jika diartikan berdasarkan asal katanya rebranding memiliki arti pemberian nama
merek kembali. Rebranding
mengindikasikan adanya tujuan penghapusan pernyataan atas sesuatu yang
sebelumnya, misalnya penghapusan citra atau reputasi yang terbentuk sebelumnya.
Dorongan atas rebranding adalah untuk
mengirimkan sinyal kepada pasar, mengkomunikasikan kepada pemegang modal (stakeholder) bahwa sesuatu mengenai
organisasi telah berubah (Stuart dan Muzellec dalam Arzia, 2007 : 9).
Namun
demikian, tidak semua dapat terlihat baik karena kampanye membranding lebih dari sekedar memberi nama
brand untuk produk atau jasa. Untuk
dapat bertahan brand tidak perlu
menjalani proses yang sulit, penuh risiko dan menantang dari rebranding. Selain itu, dari sudut
pandang manajerial, mengubah logo menjadi sangat menantang karena manajer
menghadapi pilihan karier yang tidak sepanjang usia brand dan seringkali kurang keahlian dalam melakukannya. Oleh
karena itu, rebranding bisa menjadi
strategi yang sangat berbahaya, menyebabkan kerusakan serius pada loyalitas brand dan ekuitas brand. Selain itu, terdapat pula indikasi bahwa perubahan nama
perusahaan dapat mengasingkan karyawan dan pelanggan.
Jadi
rebranding adalah suatu upaya atau
usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk mengubah total atau
memperbaharui sebuah brand yang telah
ada agar menjadi lebih baik. Dengan kata lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah
nila-nilai dalam merek itu sendiri. Rebranding
bukan hanya sebuah perubahan logo, namun rebranding
juga meliputi perubahan pesan, perubahan cara pendekatan, pemberian jasa-jasa
baru, atau bahkan perubahan mengenai apa yang dijanjikan.
Menurut
Anditya ada dua alasan mengapa perusahaan perlu melakukan rebranding, yaitu proactive
rebranding dan reactive rebranding.
Proactive rebranding adalah saat
dimana perusahaan melihat ada kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan keuntungan atau untuk menghindari potensi ancaman dimasa depan. Proactive rebranding bisa terjadi pada
beberapa situasi berikut:
1. Perkiraan
pertumbuhan
Ketika
perusahaan sedang berusaha untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan,
perusahaan tersebut bisa saja melakukan rebranding
pada produk dan jasanya menjadi satu brand yang solid. Rebranding seperti ini dilakukan ketika sebuah perusahaan ingin
membangun kesan yang kuat pada brand di bisnis tersebut.
2. Jalur
bisnis atau pasar yang baru
Ketika
perusahaan memasuki jalur bisnis atau pasar yang baru yang tidak padu dengan
identitas brand yang ada, perusahaan bisa saja mempertimbangkan untuk melakukan
rebranding.
3. Audiens
baru
Perusahaan
juga bisa saja melakukan rebranding
jika ingin menarik perhatian audiens
yang baru. Perusahaan yang menargetkan audiens
orang tua akan melakukan ini untuk menarik perhatian remaja atau anak kecil.
4. Relevansi
Perusahaan
melakukan rebranding juga ketika
brand mereka sudah tidak relevan lagi bagi konsumen. Misalnya, ketika surat kabar
cetak yang melakukan rebranding dengan turut menggunakan media online untuk penyebaran beritanya.
Kemudian
yang selanjutnya adalah reactive
rebranding, reactive rebranding
hadir sebagai reaksi dari kejadian yang mengharuskan brand tersebut untuk berganti,
misalnya:
1. Merger
atau akuisisi
Ketika
perusahaan mengalami merger atau
akuisisi dengan perusahaan lain, biasanya perusahaan akan memutuskan untuk
melakukan rebranding.
2. Masalah
hukum
Masalah
hukum kerap menyebabkan perusahaan untuk melakukan rebranding. Ini dilakukan karena kepercayaan konsumen terhadap
perusahaan menjadi semakin berkurang.
3. Pengaruh
kompetitif
Terkadang
competitor juga dapat menyebabkan
brand menjadi tidak laku atau usang, pada posisi ini, rebranding perlu dilakukan untuk kembali mendapatkan pijakan di
pasar dan kekauatn untuk bersaing.
4. Publisitas
negatif
Publisitas
yang negatif secara terus menerus juga dapat menyebabkan posisi brand di benak
publik menjadi buruk. Tingkat kepercayaan yang rendah akan berpengaruh pada
tingkat keberminatan. Disaat inilah perlu melakukan yang namanya rebranding.
Hal-hal
yang saya jelaskan diatas merupakan teori-teori mengenai rebranding yang akan
saya tarik kedalam beberapa poin yang sedikit banyak akan menjadi dasar
analisis dari gagasan yang saya tuangkan dalam tulisan saya ini. Ada tiga poin
yang saya ambil :
1. Audiens
baru
Teori
yang pertama adalah mengenai audiens baru, karena melihat kecenderungan
pandangan masyarakat tentang pengelolaan koperasi oleh kalangan tua membuat
generasi muda serasa enggan untuk masuk kedalam lingkungan koperasi. Memang
sudah menjadi sesuatu yang terlihat kentara, bisa kita lihat bersama jika
orang-orang yang ada di koperasi biasanya dihuni oleh orang yang berusia
lanjut, dimulai dari pengurus, pengawas hingga anggotanya pun terdiri dari
jajaran insan tua, tak banyak koperasi-koperasi yang ada diindonesia yang
beranggotakan pemuda-pemuda atau dari golongan yang masih muda, paling koperasi
yang anggotanya masih muda bisa kita jumpai dilingkup koperasi sekolah,
koperasi mahasiswa atau koperasi khusus pemuda yang biasanya pengelolaan dan
struktur organisasinya terbatas. Selebihnya, koperasi yang ada diindonesia
dikelola oleh orang tua atau bisa dibilang sudah tidak muda lagi.
Hal
inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa kalangan muda merasa enggan untuk
mengenal lebih dekat tentang koperasi bahkan untuk sekadar tahu pun mereka
tidak tertarik. Tentu saja mereka tidak akan tertarik, disamping koperasi hanya
ada orang-orang yang sudah tua, cara pengelolaan yang terbilang ortodok pun
memperparah penyebab ketidakberminatan mereka untuk masuk lingkungan koperasi.
Koperasi yang ada saat ini cenderung kaku, statis dan kurang adanya
perkembangan secara signifikan baik dari segi ekonomis sampai manfaat yang
diterima jika kita menjadi anggota koperasi, bisa saja ini memang gara-gara
dikelola oleh mereka yang tua, bisa juga oleh faktor lain.
Kemudian,
yang menjadi pertanyaan besar, bagaimana caranya koperasi bisa menyentuh
kalangan muda? Apakah harus ada perombakan pada segi pengelola koperasi itu
sendiri? Saya rasa tidak harus demikian, karena poin penting dari target
audiens baru yang diasumsikan akan menyasar kalangan muda adalah membuat mereka
tertarik untuk masuk kedalam lingkup koperasi, bukan juga memotong habis
orang-orang yang sudah uzur dalam mengelola koperasi, tapi justru cara
mengelolanya yang harus diubah bukan pengelolanya atau orang yang ada
didalamnya. Lalu langkah awal dalam menarik kalangan muda untuk lebih mengenal
tentang koperasi sehingga mereka tertarik dan mau masuk kedalamnya itu harus
seperti apa? Jawabannya ada pada poin kedua yang akan saya jelaskan dibawah
ini.
2. Relevansi
Makhluk
yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya-lah yang akan terus bertahan hidup,
terhindar dari kepunahan, seperti pandainya manusia, hewan, tumbuhan dan
makhluk lainnya yang mampu beradaptasi sehingga mereka bisa tetap eksis sampai
sekarang. Mungkin sepenggal kalimat tersebut terdengar aneh, terkesan
dipaksakan dengan apa yang sedang saya bahas, bisa-bisanya menghubungkan
adaptasi flora dan fauna kedalam pembahasan tentang koperasi.
Namun,
ada sesuatu yang bisa kita ambil dari sepenggal kalimat aneh disana, menyoal
adaptasi, bukankah hampir mirip dengan relevansi? Iya, saya rasa kedua hal
tersebut sangat mirip dari segi makna yang terkandung didalamnya, meskipun
kurang sesuai tapi ujung-ujungnya sama yaitu mencoba menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang ada pada saat ini.
Adaptasi,
relevansi, hal ini berkaitan erat juga dengan koperasi jika memang benar-benar
ingin berubah menjadi lembaga yang menarik banyak minat kalangan, terutama
kalangan muda pada era milenial sekarang, koperasi harus bisa menyesuaikan
setiap kegiatan ekonominya, setiap produk atau jasa yang ditawarkan hingga
manfaat yang akan diterima oleh para anggota koperasi. Penyesuaian tersebut
bisa dilakukan pada sektor ekonomi koperasi dengan bantuan teknologi yang saat
ini sedang berkembang, oh iya, sektor ekonomi koperasi yang saya maksud disini
adalah segala bentuk aktifitas dari koperasi tentang bagaimana koperasi
tersebut mengelola keuangan dimulai darimana dia mendapat dana-dana tersebut,
pengelolaan dana, sampai penyaluran dana, misalnya saja bentuk usaha koperasi
produsen yang menjual produk (sayur & buah) mereka kepada konsumen bisa
dengan mudah jika memanfaatkan teknologi yang ada pada smartphone dengan
aplikasi marketplace yang banyak
bertebaran sekarang, pengelola koperasi bisa dengan mudah menginput dana/modal
apa saja yang diperlukan dan darimana dana-dana tersebut akan diperoleh,
semuanya bisa dibuat list pada satu buah aplikasi smartphone, kemudian
pengelola dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan koperasi, seperti
alokasi untuk bahan baku, tenaga kerja serta alokasi dana lainnya, sampai pada
pembelian barang yang diperlukan hingga pada proses penjualan pun bisa
dilakukan lewat teknologi yang ada pada smartphone tadi, yang pasti smartphone
dan aplikasinya bisa mengefektifkan penjualan sekaligus mempermudah dalam
distribusi produk yang akan dijual, bahkan komunikasi dengan para calon pembeli
akan terbilang mudah karena adanya smartphone tersebut.
Tidak
hanya dalam proses hal itu saja, dalam operasional produksi, atau administrasi
koperasi juga bisa menggunakan teknologi agar mempermudah sekaligus menarik
minat calon pengguna koperasi. Misalnya saja koperasi bisa memasukan
fitur-fitur perhitungan SHU (Sisa Hasil Usaha) secara online, tersistem dan
terintegrasi, maksudnya adalah anggota bisa bisa mengakses dan melihat SHU yang
mereka peroleh secara realtime,
mereka bisa menggunakan produk/jasa koperasi dengan mudah karena sudah termuat
dalam satu sistem sehingga mereka tinggal memilihnya dalam sebuah aplikasi
saja. Atau misalnya jika diterapkan dalam koperasi konsumsi, anggota koperasi
tidak perlu keluar rumah jika ingin berbelanja di koperasi, mereka cukup memilih
produk yang diinginkan dalam sistem aplikasi tersebut yang nantinya sistem yang
akan menanggapi, memproses kebutuhan mereka dimulai dari barang dipesan,
diantar, sampai pada pembayaran pun sudah ada dalam satu buah aplikasi yang
tersistem dan terintegrasi tersebut.
Dalam
proses operasional produksi, koperasi diluar negeri sekarang sudah mulai maju
khususnya koperasi yang ada dijepang, mereka sudah menggunakan mesin-mesin
canggih dalam setiap kegiatan produksi barang bahkan pelayanan jasa yang mereka
tawarkan, sebut saja dalam penanaman padi, padi yang dikelola koperasi dinegara
tersebut sudah menggunakan mesin otomatis dalam penanamannya, jadi tidak perlu
banyak memakai tenaga manusia, disamping proses penanaman yang menjadi lebih
cepat, hasil yang diperoleh juga jadi semakin banyak dengan biaya yang
diperlukan jadi semakin kecil. Dengan kecanggihannya itu, koperasi disana jadi
lebih diminati oleh masyarakat luas dan alhasil perkembangan koperasi disana
menjadi sangat pesat, pembaca bisa cari saja di google tentang koperasi Zen-Oh
jepang, banyak sekali yang membahas tentang koperasi tersebut, koperasi
diindonesia setidaknya harus mencontoh mereka.
Mengingat
jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah dua ratus juta jiwa lebih, kemudian
pengguna internet yang sangat banyak, koperasi juga bisa menggunakan media
sosial dalam mempromosikan produk-produknya atau kelebihan-kelebihan yang
mereka miliki, sehingga bisa menarik konsumen atau masyarakat untuk bergabung
dengan koperasi. Koperasi bisa melakukan promosi agar masyarakat mengetahui
tentang koperasi itu sendiri, penwaran-penawaran yang diberikan, sampai membuat
profile koperasi untuk memudahkan akses para calon anggota supaya lebih
mengenal dan dekat dengan koperasi. Maraknya pengguna media sosial sebetulnya menjadi
angin segar bagi koperasi jika para penggiat koperasi bisa memanfaatkan
kesempatan tersebut, mereka bisa saja menggaet para pengguna media sosial untuk
ikut bergabung dengan koperasi atau memasarkan produk-produk yang mereka punya
agar memperkuat posisi mereka dimata masyarakat sebagai lembaga yang
eksistensinya tetap ada sekaligus menarik perhatian kalangan muda, karena tak
terbantahkan lagi jika kebanyakan para pengguna media sosial adalah kalangan
muda yang biasa kita sebut generasi milenial.
Yang
pada intinya, perkoperasian diindonesia harus bisa merelevansi seluruh
kegiatannya agar bisa sesuai dengan selera masayarakat, sesuai dengan
perkembangan zaman yang sekarang ini sudah mengarah kepada teknologi modern dan
koperasi harus mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut agar koperasi
tidak dibilang ketinggalan zaman.
3. Publisitas
negatif
Publisitas
negatif secara terus menerus dapat menyebabkan posisi brand dibenak publik menjadi buruk, tingkat kepercayaan yang rendah
akan berpengaruh pada tingkat keberminatan. Ini terjadi pada dunia koperasi
Indonesia, koperasi pada zaman sekarang telah mendapatkan publisitas negatif
dari khalayak ramai, banyak yang beranggapan jika koperasi dilekatkan pada
stigma jadul, kuno dan tidak dikenal oleh kalangan muda, lembaga koperasi tidak
menarik karena mereka menganggap lebih cenderung dikelola oleh orang tua, hal
demikian terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang koperasi yang
sebenarnya, termasuk kurang pahamnya kalangan muda tentang hal tersebut.
Sebetulnya,
inilah inti permasalahan yang membuat generasi muda tidak tertarik pada
koperasi sehingga membuat mereka tidak dekat sama sekali dengan koperasi,
padahal koperasi bisa menjadi identitas gerakan ekonomi bangsa Indonesia,
generasi muda saat ini tidak mengenal dan tidak ada yang mau mengenalkan mereka
kepada koperasi. Lalu harus bagaimana cara mengatasinya? Jawabannya mungkin
terlihat mudah, tentu saja tinggal kenalkan saja mereka pada koperasi, tapi
memang tak semudah mengatakannya dan tak seindah saya menuliskan jawabannya,
harus ada keseriusan dari berbagai elemen untuk ikut mengenalkan koperasi
kepada kalangan muda/generasi muda Indonesia. Siapa saja yang harus mengenalkan
mereka kepada koperasi, idealnya itu seluruh elemen yang ada di negeri ini,
minimal pemerintah harus menjadi pioneer
gerakan pengenalan koperasi kepada generasi muda.
Lalu
pertanyaan selanjutnya, jika memang yang paling riskan dan menjadi inti
permasalahan kalangan muda tidak tertarik dengan koperasi adalah karena mereka
tidak mengenal koperasi, dan kemudian yang harus menjadi “dalang utama” (pioneer) gerakan pengenalan koperasi
kepada generasi muda salah satunya adalah pemerintah, lantas harus bagaimana
cara pengenalannya? Mungkin itu yang akan penulis jawab disini.
Mari
sejenak saya ajak pembaca untuk melenceng jauh dari koperasi, mari kita bahas
sedikit tentang budaya Indonesia. Salah satu budaya Indonesia yang masih cukup
eksis sampai dengan sekarang adalah sinden. Sindhen atau pesindhen adalah
sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai
penyanyi satu-satunya, banyak turis dari mancanegara yang tertarik dengan
sindhen ini, mereka tak segan untuk belajar cara menjadi pesindhen yang baik.
Hal ini juga terjadi pada salah seorang warga jepang asli yang jauh-jauh datang
ke Indonesia untuk belajar menjadi sindhen, namanya adalah Hiromi Kano, wanita
asli jepang yang sekarang sudah lama menetap diindonesia. Hiromi sudah cukup
lama menetap di Indonesia, bahkan bahasa indonesianya pun sudah sangat fasih
sekali, dia sangat menyukai kebudayaan yang ada di Indonesia terutama tentang
sindhen, dia rela meninggalkan kampung halamannya hanya untuk belajar sindhen
di Indonesia, dia sudah lumayan cukup terkenal sekarang sebagai seorang sindhen
di nusantara.
Sempat
mengikuti beberapa kelas sindhen, mengisi berbagai acara sebagai sindhen juga,
sampai beberapa waktu lalu dia masuk dalam sebuah acara televisi nasional
Indonesia, kebetulan acara tersebut sedang membawakan tema tentang musik dan
sindhen diangkat disana juga, Hiromi Kano sebagai narasumbernya.
Yang
menarik adalah saat dimana pembawa acara mewawancarai Hiromi Kano dan bertanya
tentang musik jepang serta budaya disana, “Musik dan kebudayaan dijepang tidak
sebanyak Indonesia, tapi kenapa budaya disana begitu kental dan begitu dicintai
oleh masyarakatnya?” Begitulah kira-kira isi pertanyaannya. Kemudian Hiromi
Kano menjawab “kebudayaan jepang masih tetap eksis dan begitu dicintai disana
karena sedari kecil mereka sudah diajarkan oleh orang tua mereka tentang budaya
jepang, disekolah-sekolah juga selalu mengikutsertakan budaya jepang dalam
setiap kegiatan pendidikannya, selalu rutin mengadakan festival budaya jepang
bahkan media-media disana selalu menampilkan budaya jepang baik itu di
televisi, media sosial atau media cetak, mereka selalu saja menyelipkan dan
bahkan menonjolkan setiap saat tentang budaya jepang disana”. Jadi, kalau
penulis boleh menyimpulkan, keluarga, pendidikan/sekolah dan media-lah yang
berperan sebagai alat, konduktor untuk mengenalkan mengenai budaya mereka,
tentu saja itu adalah bagian dari instruksi pemerintah juga karena bagaimana
mungkin ketiganya akan bergerak secara masif tanpa ada instruksi dan dorongan
dari pemerintah. Dan memang terbukti, jepang yang kita kenal sekarang adalah
Negara yang begitu mencintai budayanya, mereka buktikan dengan banyaknya
berbagai acara kebudayaan yang tak terhitung disana, hampir setiap waktu selalu
saja ada acara tentang budaya jepang, seperti festival budaya jepang atau yang
biasa disebut Matsuri bahkan banyak
lokasi yang menyuguhkan kebudayaan jepang setiap saat, saya rasa pembaca sudah
tahu itu, tak perlu saya jelaskan panjang lebar lagi.
Dari
pemaparan tersebut bisa kita ambil sebuah kesimpulan yang menjadi suatu jawaban
mengenai bagaimana cara agar generasi muda bisa tertarik dan memahami tentang
koperasi di Indonesia. Jawabannya tentu
saja yang sudah saya simpulkan tadi, yaitu dengan menanamkan, mengajarkan dan
mendidik mereka sejak kecil dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan serta media-media yang ada didekat mereka tentang koperasi, tentang
bagaimana cara mencintai koperasi. Berikan mereka arahan dan informasi mengenai
manfaat dari koperasi, kelebihan-kelebihan yang ada pada koperasi, sehingga
hati mereka tergerak untuk belajar tentang koperasi dan mau ikut serta
membangun koperasi, suguhkan pada mereka sesuatu yang kekinian atau relevan
dengan perkembangan zaman seperti yang saya jelaskan pada poin dua diatas
mengenai relevansi agar mereka lebih tertarik lagi.
Sekali
lagi penulis tekankan, jika rebranding koperasi yang penulis maksud dalam
tulisan saya ini adalah bukan sekadar mengubah nama, logo atau jasa-jasa yang
ditawarkan oleh koperasi, tapi ada yang lebih penting daripada itu semua yaitu
menumbuhkan kecintaan generasi muda pada koperasi, karena bisa dibilang
koperasi adalah bagian dari sejarah dan budaya yang ada pada Negara kita
tercinta, selain sebagai bentuk gerakan ekonomi kerakyatan dan bahkan Bung
Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia pernah mengatakan jika koperasi sebagai
soko guru ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, menjadi cara tersendiri bagi kita
semua selaku bangsa Indonesia harus mencintai koperasi, perlu mengabarkan pada
generasi selanjutnya mengenai koperasi, selalu kita jaga eksistensi koperasi,
selalu kita kembangkan koperasi Indonesia agar benar-benar menjadi manfaat bagi
diri kita dan Negara ini.
Butuh
keseriusan dari semua elemen yang ada di Negara ini, pemerintah, keluarga,
pendidikan dan media yang bertebaran, memegang kunci dalam pengenalan tentang
koperasi kepada generasi muda, generasi selanjutnya yang suatu saat nanti
mereka-mereka ini akan menjadi pemimpin bagi negeri ini, mereka akan mewarisi
setiap semangat yang kita tularkan pada mereka, maka kita tularkan juga
semangat koperasi kepada mereka, kita dekatkan selalu mereka dengan koperasi,
buat mereka jatuh cinta pada koperasi, kalau bukan kita, jika bukan mulai dari
diri kita sendiri lalu harus siapa lagi. Maka, sesuai dengan judul yang penulis
tuliskan tentang rebranding koperasi di era milenial “Cuma sekadar mimpi” tidak
akan terjadi, karena semuanya akan jadi sekadar mimpi jika kita hanya
beranggapan bahwa rebranding itu mengubah logo atau membuat koperasi jadi lebih
modern, bukan itu!, yang lebih penting adalah penanaman nilai koperasi,
menumbuhkan kecintaan terhadap koperasi. Oh iya, penulis juga sengaja tidak
menggunakan alat analisis yang terkenal, atau yang sudah ngetrend, semisal analisis SWOT atau TOWS maupun alat analisis
terkenal lainnya, penulis lebih mengedepankan analisis terhadap hal-hal yang
terjadi disekitar kita agar pembaca juga bisa ikut merasakan dan berpikir
sendiri tentang tulisan-tulisan yang penulis sampaikan.
Berhubung
kita sudah terlanjur sedikit menyerempet (membahas) tentang ketertarikan dan
cinta, ada sesuatu yang menarik bagi saya saat saya membacanya di
hitmansystem.com mengenai cinta, rumus ketertarikan. Disebutkan disana jika
relasi cinta jadi ribet, kompleks, karena manusia malas berpikir logis,
strategis, realistis. Relasi cinta itu layaknya FAB Purchase Triggers yang ada pada banyak teori ekonomi, yaitu: Features, karakteristik internal dan
eksternal komoditas, Advantages,
kelebihan komoditas disbanding yang lainnya, Benefits, keuntungan yang akan diterima oleh pembeli. Itu sebabnya
sebuah strategi PDKT yang terbaik seharusnya tidak menggoda, meyakinkan atau
menembak, melainkan menuntun si Dia untuk melihat, mendengar, merasakan sendiri
nilai FAB yang dimiliki. Terlihat sederhana memang, tapi begitulah adanya
menurut riset para ahli menyoal cinta dan ketertarikan.
Iya,
sebetulnya hanya sedikit yang dapat disampaikan dalam tulisan saya tentang rebranding koperasi di era milenial,
karena saya pikir jika koperasi sekadar melakukan rebranding sesuai dengan teori yang ada yaitu hanya mengubah nama,
logo, atau bahkan membuat sesuatu yang kekinian pun saya rasa itu masih belum
cukup. Karena jika terfokus pada hal itu-itu saja pasti akan selalu ada yang
lebih baik, sesuatu yang lebih menarik bagi generasi muda ketimbang koperasi,
oleh karenanya lebih baik rebranding
koperasi itu ditujukan, difokuskan pada pembangunan mental dan kecintaan
generasi muda terhadap koperasi, mulai sejak dini, sejak dalam lingkup
keluarga, selalu tanamkan nilai-nilai koperasi dalam setiap aktivitas kehidupan
ekonomi keluarga, rutinkan untuk selalu menginspirasi dan menginformasikan
kepada mereka dalam dunia pendidikan tentang koperasi dan hiasi media-media
selalu dengan segala hal yang berbau koperasi.
Sebaik-baiknya rebranding yang
dilakukan, jika dari dalam diri generasi muda tidak ada kecintaan, maka akan
selalu berakhir dengan meninggalkan, iya generasi muda akan meninggalkan apa
yang tidak mereka cintai, tapi jika sedari dulu, sejak dini generasi muda sudah
mencintai koperasi, maka tanpa rebranding
pun sebetulnya koperasi akan selalu dikembangkan dengan sendirinya oleh para
generasi yang benar-benar mencintai koperasi. Pertanyaan besarnya adalah,
apakah kita semua sudah benar-benar mencintai koperasi? Apakah para pembaca
sudah betul-betul cinta koperasi? Jika jawaban kalian iya, sudah berapa banyak koperasi yang kalian dirikan? Sudah
menjadi anggota koperasi? Sudah berapa lama kalian menjadi anggota koperasi?
Tahu tentang undang-undang koperasi nomor 25 tahun 1992? Tahu prinsip koperasi?
Apakah nilai-nilai koperasi sudah diterapkan dalam kehidupan kalian? Jika
pertanyaan yang saya ajukan membuat kalian bingung, berarti kecintaan kalian
kepada koperasi patut untuk dipertanyakan. Sekian yang dapat penulis sampaikan,
semoga tulisan yang penulis tulis bisa bermanfaat bagi para pembaca, dapat
menggugah pembaca untuk lebih mencintai koperasi, bukan hanya menulis, tidak
hanya berkata-kata, tapi wujudkan kecintaan kalian dengan aksi nyata, akhir
kata “jangan sekadar berorasi, tapi harus berkreasi agar rebranding koperasi tidak sekadar mimpi”.